This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 11 Juli 2018

Jangan Takut Miskin

::: Samsu Wijayanto :::

Miskin merupakan status sosial yang sangat dihindari oleh sebagian orang. Banyak orang bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak sedikit pula yang menghalalkan yang haram demi keluar dari zona kemiskinan.

Kata orang hidup itu seperti roda berputar. Memang. Kemiskinan akan segera berakhir dengan adanya usaha yang keras, tekun dan sabar. Seseorang pasti akan meninggalkan fase kemiskinan dan beralih mrnjadi kejayaan. Itu adalah bentuk keniscayaan. Namun sekali lagi, kita diikat oleh norma agama dan sosial. Dimana kita diatur dan didisiplinkan untuk menjadi pribadi yang baik menurut tataran agama dan sosial. Tentu menjadi kaya atau jaya harus dengan usaha yang baik.

Hal buruknya, ketika seseorang sudah nyaman dan suka pada fase jaya dan memiliki kekayaan, dia akan takut menjadi miskin kembali seperti dulu. Dia lupa bahwa dia dulu pernah berada dalam keadaan yang sulit. Oleh karena itu, Allah memberikan kita peringatan yang mengimplementasikan kehidupan seseorang yang kaya. Peringatan ini tertera dalam surat at-Takatsur ayat 1, berbunyi Allah SWT berfirman:

أَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُ
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,"

Kita dilarang untuk bermegah-megahan bukan berarti kita tidak boleh kaya dan hidup memiliki banyak harta. Boleh kaya, boleh punya banyak harta. Namun hiduplah sederhana, jangan sampai lupa diri. Jika itu terjadi, maka secara tidak langsung kita sudah bermegah-megahan. Kalau sudah demikian, sulit untuk kita menerima keadaan jika suatu saat jatuh miskin.

Nah, disinilah setan mulai bermain. Bermain dengan bisikan-bisikan ketakutan akan kemiskinan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah : 268, berbunyi:

الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ ۖ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, "setan tidak segan-segan menakut-nakuti hambanya dengan takut akan kemiskinan. Sehingga, banyak sekali orang enggan untuk bersedekah, infaq bahkan zakat. Selain itu, setan juga membisikan pada telinga manusia bahwa kebathilan adalah halal baginya. Seperti bakhil dan serakah misalnya. Tidak heran jika banyak yang rela menggadaikan imannya untuk pergi ke ahli nujum (dukun) untuk melancarkan dan mempertahankan kekayaannya.

Quraish Shihab juga menambahkan, "Setan menakut-nakuti kalian dengan kemiskinan, memalingkan dari amal saleh sehingga kalian tidak berinfak di jalan kebaikan dan menyuruh kalian berbuat kejahatan. Ampunan Allah amatlah luas. Dia Mahakuasa untuk membuat kalian kaya. Tidak ada satu masalah pun yang tidak diketahui-Nya."

Intinya, seberapapun harta benda yang kita miliki. Itu semua hanya titipan. Tak pantas kita terlalu bangga dan tak boleh juga kita putus asa hingga takut menjadi miskin. Allah telah mengatur porsi rezeki kita dengan adil dan pas. Tinggal bagaimana kita mensyukuri apa yang kita miliki dan menggunakannya dengan baik dan penuh manfaat

Sekian

Kroya, Cilacap, 12-07-2018

Selasa, 10 Desember 2013

Tafsir Kebebasan Berkeyakinan

By: Samsu Wijayanto
Tafsir Hadits
Pendahuluan
Sesuatu yang lebih berharga dari kebenaran adalah kebenaran itu sendiri. Begitu juga pada agama. Itu berarti yang lebih berharga dari agama adalah agama itu sendiri. Setiap agama menuntut pengorbanan dari pemeluk agamanya. Namun demikian, islam datang bertujuan untuk mempertahankan eksistensi agamanya, tapi juga mengakui eksistensi agama orang lain, dan memberinya hak-hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati para pemeluk-pemeluk agama lain.
Manusia adalah makhluk yang sangat peka dalam masalah agama. Itu terbukti ketika dalam suatu permasalahan ditarik ke ranah agama, maka kerusakan dan kehancuranlah yang akan muncul. Jadi perlu diingat, bahwa agama itu diibaratkan dengan aurat. Aurat yang tidak boleh diperlihatkan dan dipamerkan  kepada orang banyak, cukup diri sendiri dan Tuhanlah yang tahu.
Kesejahteraan Agama
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin seakan-akan sudah hilang tak berbekas. Status “rahmatan lil ‘alamin” ini sudah tertera dalam kita suci “al-Qur’an” kita. Tapi, kenapa kebanyakan dari kita masih tidak berlaku rahmatan lil ‘alamin? Jika kita memang mengaku sebagai umat islam, seharusnya kita tunjukkan kerahmatan lil ‘alaminnan kita.
Pertanyaan diatas tidak hanya untuk kita tanyakan dan kita pikiran. Akan tetapi kita aplikasikan pada masyarakat sekitar kita. Sungguh sangat mengecewakan ketika kita mengaku sebagai umat islam, tapi dalam realita kita masih memberlakukan ketidakadilan. Ketidakadilan disini tidak hanya dalam ranah materi tapi juga immateri. Seperti halnya dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 256, berbunyi “Tiada paksaan untuk menganut agama (Islam)”; dan pada al-Qur’an Surat an-Nahl: 93, berbunyi “Seandainya Allah menghendaki,niscaya Dia (Allah) menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja”.
Dari surat al-Baqarah: 256 di atas sudah jelas, bahwa Allah di sini tidak memaksa dan memberikan kebebasan kepada hambanya untuk menganut agama apapun. Lalu jika kita mengekang seseorang untuk memilih agama yang mereka anut, maka kita termasuk orang yang sombong. Sombong akan agama yang sudah kita anut dan merasa paling benar. Padahal dari ayat di atas menunjukkan kemaha pemurahan Allah. Sungguh sikap yang tidak pantas dimiliki manusia jika kita berlaku sombong pada sesama kita. Kesombongan hanya milik Allah semata.
Kemudian dari firman Allah surat an-Nahl: 93 sudah menunjukkan bahwa kita diperintahkan untuk berlaku adil kepada sesama manusia yang berbeda dengan kita. Allah sengaja menurunkan banyak agama di dunia, karena karena itu Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Allah kepada setiap insan. Dari ayat ini secara tidak langsung telah menanamkan benih tentang demokrasi.
Atas dasar itu juga al-Qur’an mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh oleh umat manusia dan kita diperintahkan untuk bersikap adil dan sebagai sarana untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (QS al-Baqarah: 148), bukan berlomba-lomba dalam mengejek atau mencela. Seperti yang difirmankan oleh Allah Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama lain) ... (QS Al-An'am: 108).
Dari ayat-ayat di atas sudah jelas sekali bahwa Allah tidak mengajarkan kepada kita untuk memusuhi, mencerca atau menghina, apalagi membenci orang yang berbeda dengan kita. Allah maha pengasih dan penyayang, apakah kita sebagai hamba tidak ingin meniru sifat Allah yang selalu mengasihi dan menyayangi?
Sering kita lihat dan kita dengar ada saja pembicaraan yang tidak mengenakkan tentang agama. Kita mudah sekali mengina dan meremehkan agama lain. Inilah yang menimbulkan banyak sekali konflik tentang agama. Karena sesungguhnya banyak yang masih belum akan arti perbedaan. Kita lebih memilih mempertahankan keyakinan dengan menjatuhkan yang lain, tanpa memikirkan dampak dari semua itu.
Jika kita berbicara keMaha pengasihan dan penyayangan Allah, maka sudah jelas bisa kita lihat contohnya. Contoh saja, kita pasti tahu agama di luar Negara timur atau bisa dikatakan Negara barat (Eropa, India, Cina, Jepang dll). Mereka semua mayoritas beragama non-islam, Kristen, budha, hindu, dan agama tau keyakinan lain (saya tidak mengatakan kafir, karena Nabi tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan kepada kita untuk mengkafirkan sesama manusia meskipun berbeda keyakinan). Tapi, Allah tetap membiarkan mereka hidup dan bebas beragama dan menyembah tuhan mereka, Allah tidak menghina mereka dan tidak menurunkan petaka pada mereka. Lalu kenapa kebanyakan dari kita masih menjauhkan diri untuk bergaul dan bersosial dengan mereka?, apakah kita takut menjadi kafir, karena bergaul dengan mereka dan menghormati mereka?.
Jika pertanyaan-pertanyaan itu yang ditakutkan oleh kita. Maka ingatlah firman Allah “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (QS al-Kafirun: 2). Ayat ini memerintahkan Nabi untuk tidak menyembah apa yang mereka sembah, Allah tidak memerintahkan untuk menjauhi dan melarang orang Islam membantu mereka dalam ranah sosial. Jadi sesama umat beragama kita bisa saling membantu dalam hal apapun kecuali masalah aqidah.
Bila kita merujuk pada perkataan seorang pluralis (Cak Nun). Dia mengibaratkan hidup beragama seperti warung. Hidup diibatkan warung nasi, agama diibaratkan dapurnya dan kita adalah penjualnya. Ketika ada seorang pembeli yang mau membeli makanan di warung kita, dan orang yang membeli itu berbeda keyakinan dengan kita. Kita harus melayaninya dengan ramah tamah. Orang itu pasti juga akan ramah dengan sikap kita yang ramah. Karena orang itu merasa diharga dan dihormati. Seorang pembeli tidak akan masuk ke dapur karena dapur hanya milik penjual. Ketika seorang pembeli mau masuk ke dapur maka tegurlah. Begitu juga kita hidup berdampingan dengan orang yang berbeda dengan kita. Kita hormati dan kita hargai keberadaannya. Tak hanya itu kita juga ramah dan menghormatinya ketika mereka tersebut tidak masuk ke dalam wilayah yang intern dalam hidup kita (agama). Kita hargai juga orang itu ketika sedang beribadah kepada tuhannya. Karena mereka juga akan merasa menjadi seorang penjual yang akan melayani kita dan menghormati kita ketika kita sedang bermunajat kepada Tuhan kita.
Dengan demikian, agama tidak perlu dan tidak boleh dikeluarkan ketika masalah social. Antara agama dan social harus dipisahkan. Karena apabila agama masih ikut campur dalam urusan sosial, maka perdamaian dan kerukunan akan sulit terjalin. Masa iya, ketika kita mau menolong seseorang yang sedang tertimpa bencana atau kecelakaan harus ditanyakan dulu agamanya. Dan jika kita tahu dan berbeda dengan kita, apa kita masih rela dalam menolong orang tersebut. Saya tidak yakin, bahwa kita akan rela dan sepenuhnya menolong. Karena kita masih terbilang fanatik dengan agama atau keyakinan yang kita anut.
Kefanatikan inilah yang membuat manusia tidak tentram, damai dan tenang dalam bersosial. Kebanyakan orang sekarang ini takut dan tidak tenang dalam bergaul di Indonesia yang bhineka dan plural ini. Fanatik adalah suatu sifat dari fanatisme yang berarti suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional.
Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini.
Kesimpulan
Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah islam yang ramah, penuh cinta kasih dan saling menolong, meskipun dengan non-muslim. Karena agama kita tidak mengajarkan kekerasan. Jadi barang siapa yang mengaku islam tapi dia masih keras dan belum berlapang dalam keberbedaan, terlebih lagi menghina umat yang berbeda dengannya. Maka islamnya perlu dipertanyakan.

Stop kekerasan dan kita ciptakan perdamaian untuk mengembalikan nama islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tunjukan bahwa kita islam yang ramah, bukan islam yang marah.

Sabtu, 07 Desember 2013

AL-GHAZALI Dibalik kefilsufan dan kesufiannya.

By. Syamsu
Jurusan Tafsir hadis

Al-Ghazali adalah seorang ulama’ yang bernama asli Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali. Dia lahir pada tahun 450 H atau 1059 M di kampung Ghazalah yang masuk wilayah  sebuah kota kecil yang bernama Thus, Khurasan, Iran, yang saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia islam.
Nama Al-Ghazali diambil dari nama tempat dimana dia dilahirkan, yaitu ghazalah. Jadilah dia dijuluki dengan nama Al-Ghazali. Keilmuannya dalam bidang agama, filsafat dan tasawuf tidak diragukan lagi. Oleh karena itu, Al-Ghazali terkenal sebagai seorang ulama’, filsuf, dan sufi.
Al-Ghazali dalam kehidupannya adalah seorang yang tidak mudah puas dengan hanya mengetahui dan mempelajari satuunsur pemikiran. Ketidakpuasannya dalam menyelami satu unsur pemikiran membawa dia pada hakikat kehidupan yang sebenarnya, yaitu mengenal dan dekat dengan Tuhan. Apabila kita membayangkan hal tersebut, mungkin tidak mudah. Karena dalam perjalanannya menuju taraf mengenal Tuhan (ma’rifat billah).
Awal perjalanannya dimulai dari keterlibatannya dalam unsur pemikiran mutakalimin. Al-Ghazali dulunya penganut pemikiran ini, tapi karena dia kurang puas dengan jawaban-jawaban dan tidak bisa menemukan kebenaran kehidupan dalam pemikiran ini. Akhirnya dia berpindah pada unsur pemikiran filsafat. Dalam pemikiran filsafat pun dia masih belum puas  atas argumen-argumen filosofis mengenai kebenaran. Kemudian akhirnya dia mimilh jalan terakhir yaitu mendalami tasawuf  untuk mencari kebenaran dan ketenangan jiwa. Keterlibatan Al-Ghazali dalam pemikiran tasawuf  memberikan ketenangan bathiniyah dan kepuasan terhadap apa yang dia cari yaitu kebenaran.
Tapi bukan itu titik tekan pembahasan ini. Jika di atas Al-Ghazali adalah orang yang sangat diagung-agungkan keilmuannya dalam bidang filsafat maupun tasawuf, ternyata Al-Ghazali juga seorang Mufassir yang model penafsirannya ini bebeda dengan mufassir-mufassir islam yang ada pada masanya.
Al-Ghazali melihat bahwa mayoritas agamawan telah salah langkah dalam melakukan pembacaan al-Qur’an. Menurutnya mayoritas agamawan pada saat itu terlalu tekstualis eksoteris (Dzahiriyah) dan melulu pada aspek esoterik sufistik (Bathiniyah) dalam corak pemahaman al-Qur’an. Selain itu, Al-Ghazali mengkritik habis corak pemahaman melalui nalar murni (bil ra’yi) dan pola tafsir bil ma’tsur.
Dalam penafsiran, Al-Ghazali memetakan corak tafsir menjadi lima aliran, yaitu:
1.      Aliran objektivis murni
Aliran menganggap kebenaran hanya dapat diketahui dari pesan teks suci secara lahiriyah (tekstual). Dengan begitu, aliran ini sangat menolak fungsi akal dalam menentukan kebenaran. Menurut aliran ini apa yang sudah dijelaskan oleh manqul (wahyu dan sunnah) harus diterima karena itu adalah sebuah kebenaran yang mutlak.
2.      Aliran subjektivis murni
Aliran ini merupakan kebalikan dari aliran di atas dimana mereka lebih memprioritaskan  fungsi akal ketimbang naql (keterangan al-Qur’an maupun Hadits Nabi). Mereka hanya menerima dalil naql yang sesuai dan bisa diterima oleh akal (logis).
3.      Aliran semi subjektivis
Jika aliran subjektivis murni di atas lebih mengutamakan fungsi akal dan menolak adanya naql, maka dalam aliran ini menjadikan akal pegangan dasar akan tetapi masih memiliki perhatian terhadap naql, meski lemah. Bagi aliran ini, makna-makna teks lahiriyah tidak bisa dipertentangkan dengan akal. Mereka melakukan upaya ta’wil pada teks lahihiriyah yang nampak bertentangan dengan akal. Namun, apabila suatu teks yang dita’wil masih sulit dipahami, maka bagi aliran ini harus diingkari dan ditolak.
4.      Golongan semi objektivis
Golongan ini memposisikan teks suci (al-Qur’an dan hadis) sebagai sumber dasar utama, sementara penggunaan rasio (akal) itu lemah.
5.      Aliran moderat
Aliran ini merupakan aliran yang mengkomparasikan antara akal dan naql. Aliran ini memposisikan keduanya dengan posisi sejajar. Oleh karena itu, bagi aliran ini, tidak memfungsikan akal berarti pula mendustakan syara’, sebab melalui kerja rasio itulah sebuah kebenaran syara’ dapat dipahami sehingga tidak mungkin terjadi ta’arud (kontradiksi) diantara keduanya.
Pada aliran inilah Al-Ghazali memposisikan dirinya sebagai bagian dari golongan ini. Menurutnya, cara inilah yang benar dan harus menjadi pilihan, sebab melalui akal manusia apa yang benar dan apapun yang salah dapat teridentifikasi. Begitupun sebaliknya, akal tidak bisa dinafikan dengan syara’ sebab keterangan-keterangan syara’ hanya bisa dipahami dengan akal.
Secara teoritis menurut Al-Ghazali akal dan wahyu tidak mungkin bertentangan secara hakiki karena keduanya merupakan nur (cahaya) Allah, bahkan antara keduanya ini saling menguatkan. Dalam kitab al-Mustasfa karya terakhir Al-Ghazali menjelaskan bahwa antara akal dan wahyu diibaratkan seperti hakim dan saksi. Kedua unsur ini saling menguatkan dalam hal hukum. Oleh sebab itu, Al-Ghazali mengkritik dan mencela taqlid  buta yang cenderung mengabaikan akal secara total dan sikap tersebut dianggapnya sebagai tindakan bodoh. Sebaliknya, al-ghazali juga bertindak tegas terhadap sikap yang terlalu berlebihan dalam memfungsikan akal seraya menafikan penjelasan al-Qur’an dan hadis.
Kelompok yang hanya berpegang teguh pada kebenaran tunggal dalam penafsiran al-Qur’an seperti kelompok dzahiriyah dan bathiniyah di atas, maka akan mengarah pada pemahaman dan cara pandang yang sempit lagi picik dan berdampak pada pemahaman yang subjektif saat menafsirkan ayat al-Qur’an. Produk penafsiran yang hanya menggunakan satu dimensi saja hanya akan memberikan arti dan manfaat pada dirinya sendiri dan nilai kebenarannya hanya untuk pribadinya.
Penafsiran Al-Ghazali ini sejalan dengan salah satu teori pokok H. G. Gadamer dalam hemeneutika, bahwa pemahaman penafsir sangat mungkin dipengaruhi oleh situasi hermenutik tertentu yang melingkupi dirinya (penafsir), baik berupa tradisi, kultur, maupun pengalaman hidupnya. Dalam penafsiran Gadamer menegasan seorang penafsir seyogyanya sadar bahwa dia berada dalam posisi tertentu yang dapat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks. Oleh karena itu, penafsir harus bisa mengatasi subjektifitas dirinya dalam menafsirkan suatu teks.
Dengan demikian, Al-Ghazali yang terkenal dengan keahliannya dibidang filsafat dan bidang tasawuf sehingga mencapai taraf ma’rifat billah juga memfokuskan dirinya pada bidang tafsir. Tafsir yang digunakannya pun sangat berbeda dengan penafsir lain yang sezaman dengannya. Tak hanya itu, Al-Ghazali pun memberikan kritikan-kritikan terhadap metode dan corak penafsiran tafsir yang dia rasa kurang relevan untuk diaplikasikan.

Jadi, dalam menafsirkan suatu teks baik teks suci (al-Qur’an dan hadis) maupun non-suci kita tidak boleh menafikan peran akal. Karena peran akal sangat penting untuk melakukan pembacaan ulang terhadap makna yang terkandung dalam suatu teks. Hal ini bertujuan supaya tidak lagi adanya justifikasi buta terhadap sesuatu yang dibaca dengan cara tekstual saja.

Minggu, 22 September 2013

Ilmu Ma’anil Hadis dalam Hubungannya dengan Kritik Matan Hadis


Sebelum kita membahas tentang ilmu ma’anil hadis dan hubungan antara ilmu ma’anil hadis dengan kritik matan hadis, kita telusuri dulu latar belakang munculnya ma’anil hadis dan tidak lepas pula kita telusuri sejarah hadis terlebih dahulu.
Penelusuran sejarah tumbuhnya hadis dan perkembangnya sangatlah penting untuk kita bahas. Hal ini untuk mendudukan pada tataran mana ilmu-ilmu hadis itu untuk dirujukkan, sehingga muncul berbagai teori hadis salah satunya ma’anil hadis ini.
Permulaan hadis terjadi seiring bersamaannya turunnya wahyu (al-Qur’an). Pada saat itu pulalah dakwah nabi dimulai. Karena adanya perintah tabligh (penyampaian) dengan begitu dimulailah pula fase pertama terjadinya hadis. Jadi jika kita telusuri lebih dalam lagi menganai hadis, maka kita akan mendapati bahwa usia hadis ini tidak berbeda dengan  awal turunnya wahyu (al-Qur’an)[1].
Nabi dalam menyampaikan hadis menggunakan tiga cara, yakni: secara verbal, tertulis, dan demonstrasi secara praktis. Pertama secara verbal, cara ini adalah penyaapaian yang pertama dilakukan oleh Nabi. Hal ini dikarenakan Nabi adalah seorang mubaligh. Penyampaian tersebut adakalanya didahului dengan adanya sebab, atau peristiwa –biasa disebut dengan asbabul wurud- maupun tidak. Yang tidak adanya asbabul wurud inilah yang nantinya akan menjadi latar belakang munculnya ilmu ma’anil hadis.
Dari cuplikan sejarah hadis di atas bisa kita ketahui latar belakang munculnya ilmu ma’anil hadis. Munculnya ilmu ma’anil hadis karena adanya hadis-hadis yang dikeluarkan oleh Nabi –baik ucapan, perbuatan, sifat dan ketetapan nabi- dan itu sangat penting untuk kita telaah lebih lanjut maksud dari isi (matn) hadis tersebut karena tidak adanya faktor yang menyebabkan hadis itu muncul.
Sesuai dengan latar belakang ilmu ma’anil hadis, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa, ilmu ma’anil hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.
Kemudian, setelah mengetahui pengertian ilmu ma’anil hadis, kiranya kita juga perlu mengetahui pengertian dari kritik matan hadis. Kritik matan hadis adalah usaha untuk mengetahui keotentisitasan, dan kualitas suatu hadis. Apabila kita tarik pengertian kritik hadis tersebut dengan historis hadis pada masa Nabi, maka dapat kita simpulkan bahwa kritik matan ini juga kerap terjadi pada masa Nabi. Hanya saja kritikan-kritikan tersebut mudah untuk diselesaikan. Karena Nabi adalah orang yang meriwayatkan hadis sekaligus orang yang tepat utnuk dijadikan sebagai penafsir –jika dalam bahasa tafsir al-qur’an- hadis.
Kedua pengertian tersebut –pengertian ma’anil hadis dan pengertian kritik matan hadis- secara tidak langsung memberikan kita gambaran tentang ilmu ma’anil hadis dalam hubungannya dengan kritik matan hadis. Suatu hadis dapat kita pahami matannya secara tepat jika hadis itu telah kita telusuri kebenarannya, baik dengan menggunakan penelitian maupun kritik, mekipun kritik juga termasuk dalam metode penelitian.
Dalam kritik matan hadis, ada dua unsur yang harus dipenuhi dalam seubah hadis. Pertama, hadis tersebut harus terhindar dari syuzuz (kejanggalan); kedua, hadis juga terhindar dari illat (cacat). Kedua unsur sangat penting dan tidak mudah untuk diketahui janggal dan illatnya. Karena tidak ada kitab-kitab standar yang membahas syuzuz dan illat suatu matan hadis[2].
Selain itu hadis bisa dikatakan maqbul (yakni bisa diterima dan diaplikasikan), apabila: (1) Matan hadis tidak bertentangan dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan hukum al-qur’an yang telah muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati oleh ulama dahulu (ulama salaf); (5) tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti; (6) dan tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.


[1]Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 8-9.
[2]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cet ke-2, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 116.